Latar Belakang Sejarah Melaka : Masa Kejayaan Dan Kesultanan

Latar Belakang Sejarah Melaka

Latar Belakang Sejarah Melaka : Masa Kejayaan Dan Kesultanan – Distributorpemadam.id – Kesultanan Malaka adalah Kerajaan Melayu yang pernah berdiri di Melaka, Malaysia. Kerajaan ini didirikan oleh Parameswara, kemudian mencapai puncaknya pada abad ke-15 dengan menguasai jalur pelayaran Selat Malaka, sebelum ditaklukkan oleh Portugal pada tahun 1511. Jatuhnya Malaka menjadi pintu gerbang penjajahan Eropa di Nusantara.

Kerajaan ini tidak meninggalkan bukti arkeologi yang cukup untuk dijadikan bahan kajian sejarah, namun keberadaannya dapat diketahui melalui Sulalatus Salatin dan kronik Cina pada masa Dinasti Ming.

Dari perbandingan kedua sumber tersebut masih menimbulkan komplikasi dalam sejarah awal Malaka, terutama terkait dengan perkembangan Islam di Malaka dan masa pemerintahan masing-masing raja Malaka. Pada awalnya Islam tidak menjadi agama bagi masyarakat Malaka, namun perkembangan selanjutnya Islam telah menjadi bagian dari kerajaan ini yang ditunjukkan dengan gelar sultan yang disandang oleh penguasa Malaka selanjutnya.

Latar Belakang Sejarah Melaka

Sejarah Melaka

Kota ini pernah menjadi ibu kota Kesultanan Malaka dan pusat peradaban Melayu pada abad ke-15 dan ke-16. Portugis menaklukkan Malaka pada tahun 1511. Antara tahun 1641-1795, Melaka dikuasai oleh Belanda. Kemudian Melaka dikuasai Inggris pada tahun 1820-an hingga Malaysia merdeka pada tahun 1957. Inggris menyerahkan Bencoolen kepada Belanda dan sebagai gantinya mereka memperoleh Melaka.

Pada 2008 Melaka dan George Town, dinamai oleh UNESCO sebagai Kota Warisan Dunia.

Pendirian

Menurut Sulalatus Salatin, kerajaan ini merupakan kelanjutan dari Kerajaan Melayu di Singapura, sehingga serangan Jawa dan Siam menyebabkan pusat pemerintahan berpindah ke Malaka. Kronik dinasti Ming mencatat Parameswara sebagai pendiri Malaka yang mengunjungi Kaisar Yongle di Nanjing pada tahun 1405 dan meminta pengakuan atas kedaulatannya.

Menanggapi upeti yang diberikan, Kaisar Tiongkok setuju untuk memberikan perlindungan kepada Malaka, sehingga tercatat sebanyak 29 kali utusan Malaka mengunjungi Kaisar Tiongkok. Pengaruh besar dari hubungan ini adalah Malaka mampu menghindari kemungkinan serangan oleh Siam dari utara, terutama setelah Kaisar Cina mengabarkan penguasa Ayutthaya tentang hubungannya dengan Malaka.

Keberhasilan hubungan diplomatik dengan Cina diuntungkan dengan stabilitas pemerintahan baru di Malaka, kemudian Malaka berkembang menjadi pusat perdagangan di Asia Tenggara, dan juga menjadi salah satu pangkalan armada Ming.

Laporan kunjungan Laksamana Cheng Ho pada tahun 1409, menggambarkan Islam telah dianut oleh masyarakat Malaka, sedangkan berdasarkan catatan Ming, penguasa Malaka mulai menggunakan gelar sultan muncul pada tahun 1455. Sedangkan di Sulalatus Salatin gelar sultan adalah diperkenalkan oleh penerus Raja Iskandar Syah untuk selanjutnya sama dengan Parameswara oleh beberapa ahli sejarah. Sedangkan di Pararaton, ada tokoh yang mirip bernama Bhra Hyang Parameswara sebagai suami dari Ratu Majapahit, Ratu Suhita. Namun, kontroversi mengenai identifikasi nomor ini masih diperdebatkan hingga saat ini.

Pada tahun 1414 Parameswara digantikan oleh putranya, Megat Iskandar Syah, memerintah selama 10 tahun, kemudian memeluk Islam dan digantikan oleh Sri Maharaja atau Sultan Muhammad Syah. Putra Muhammad Syah yang kemudian menggantikannya, Raja Ibrahim, bergelar Sri Parameswara Dewa Syah. Namun pemerintahannya baru berumur 17 bulan, dan ia meninggal ketika dibunuh pada tahun 1445. Saudaranya Raja Kasim kemudian menggantikannya dengan gelar Sultan Mudzaffar Syah.

Masa Kejayaan Pemerintahan Melaka

Pada masa pemerintahan Sultan Mudzaffar Syah, Malaka berkembang di Semenanjung Malaya dan pantai timur Sumatera, setelah sebelumnya berhasil menghalau serangan Siam. Dimulai dengan menyerang Aru, yang disebut kerajaan yang tidak menjadi Muslim yang baik.

Penaklukan Malaka atas daerah sekitarnya didukung oleh armada yang kuat saat itu dan kemampuan menguasai Orang Laut yang tersebar di antara pantai timur Sumatera dan Laut Cina Selatan. Orang laut ini berperan mengarahkan setiap kapal yang melalui Selat Malaka untuk singgah di Malaka dan memastikan keselamatan kapal-kapal di sepanjang jalur pelayarannya setelah membayar cukai di Malaka.

Di bawah raja berikutnya yang naik tahta pada tahun 1459, Sultan Mansur Shah, Melaka menginvasi Kedah dan Pahang, dan menjadikannya negara bagian yang lebih rendah. Di bawah sultan yang sama, Kampar dan Siak juga ditundukkan. Sedangkan wilayah Inderagiri dan Jambi merupakan pemberian Batara Majapahit untuk Raja Malaka. Sultan Mansur Syah kemudian digantikan oleh putranya Sultan Alauddin Syah tetapi memerintah tidak lama karena diduga mati diracun dan kemudian digantikan oleh putranya Sultan Mahmud Syah.

Hingga akhir abad ke-15 Malaka telah menjadi kota pelabuhan kosmopolitan dan pusat perdagangan beberapa hasil bumi seperti emas, timah, lada dan kapur. Malaka muncul sebagai kekuatan besar dalam menguasai Selat Malaka, termasuk menguasai dua pantai yang mengapit selat tersebut.

Pemerintahan Kesultanan Malaka

Meskipun Kesultanan Malaka sangat dipengaruhi Islam, namun dalam menjalankan pemerintahan kerajaan ini tidak sepenuhnya menerapkan pemerintahan Islam. Hukum yang berlaku di Malaka, seperti Hukum Kanun Malaka, hanya 40,9% yang mengikuti aturan Islam. Demikian juga Hukum Laut Malaka hanya 1 pasal dari 25 pasal yang mengikuti aturan Islam.

Sultan Malaka

Kesultanan Malaka dalam urusan negara memiliki tatanan pemerintahan yang rapi. Sultan Malaka memiliki kekuasaan mutlak, semua aturan dan hukum mengacu pada Raja Malaka. Selama dalam pemerintahan Sultan Malaka dibantu oleh beberapa pejabat antara lain Bendahara, Tumenggung, Penghulu Bendahari dan Syahbandar. Kemudian ada lebih banyak menteri yang bertanggung jawab atas sejumlah urusan negara. Selain itu, ada posisi Laksamana yang semula diberikan kepada masyarakat Orang Laut.