Pengaruh Hindu Budha Di Indonesia Dalam Berbagai Bidang

Pengaruh Hindu Budha Di Indonesia

Pengaruh Hindu Budha Di Indonesia

Pengaruh Hindu Budha Di Indonesia Dalam Berbagai BidangDistributorpemadam.id – Unsur-unsur dari kebudayaan Hindu India yang datang mempengaruhi kebudayaan Indonesia sedikitnya terdiri dari enam unsur, yaitu:


Bahasa (Bahasa Sansekerta), serta huruf Pallawa

Sebelum bahasa Sanskerta masuk ke Indonesia, bangsa Indonesia telah memiliki bahasa Ibu. Di mana pada masa ini telah berkembang bahasa Austronesia yang berkembang sejalan dengan perkembangan kebudayaan bercocok tanam.  Setelah bahasa Sankerta masuk disertai dengan adanya penggunaan huruf Pallawa, maka bangsa Indonesia masuk ke dalam masa sejarah yang dimulai dengan berdirinya kerajaan Kutai.


Teknologi, terutama arsitektur bangunan  dan  irigasi

Teknologi dalam hal ini bukan hanya terbatas benda-benda yang terlihat pada zaman sekarang, tetapi teknologi yang dimaksud yaitu pada intinya suatu alat yang dipakai untuk dapat menguasai lingkungan. Sistem peralatan dan teknologi kebudayaan Hindu yang mempengaruhi kebudayaan Indonesia terutama dapat dilihat dalam teknologi arsitektur dan irigasi.

Contoh konkret dari pengaruh unsur peralatan dan teknologi ini adalah terlihat dalam bentuk bangunan candi-candi di pulau Jawa seperti: Candi Prambanan, Candi Borobudur, Candi Mendut dan lain-lain. Namun yang perlu diingat bahwa pengaruh unsur kebudayaan Hindu ini tidak langsung ditelan mentah-mentah oleh bangsa Indonesia, tetapi mengalami penyesuaian dengan kepribadian yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sehingga bentuk candi-candi yang berada di Inonesia tidak sama dengan candi-candi yang berada di India.


Organisasi Sosial

Unsur kebudayaan Hindu di bidang organisasi sosial yang mempengaruhi kebudayaan Indonesia dalam hal ini tampak nyata dalam konsep dasar sistem kerajaan dan sistem Warna yang berkembang di Indonesia. Sebab, sebelum kebudayaan Hindu masuk ke Indonesia, bangsa Indonesia belum mengenal sistem kerajaan serta sistem Warna. Hal ini terbukti dengan kerajaan pertama di Indonesia adalah kerajaan yang beridentitaskan Hindu (kerajaan Hindu) yaitu kerajaan Kutai.


Sistem Pengetahuan

Dalam sistem pengetahuan, pengaruh kebudayaan Hindu terlihat dalam ilmu kedokteran, yang tercantum dalam buku-buku Usada, Ilmu hukum antara lain terdapat dalam kitabManawadharmasastra, dan pengetahuan seksologi yang terdapat dalam kitab Kamasutra


 Agama atau Religi

Kebudayaan Hindu memberikan pengaruh di bidang agama yaitu yang berupa agama Hindu dan Budha. Dalam hal kepercayaan atau religi, bangsa Indonesia tidak menelan begitu saja pengaruh kebudayaan Hindu di bidang agama karena sebelum agama Hindu datang ke Indonesia, bangsa Indonesia telah mengenal sistem kepercayaan pemujaan kepada roh nenek moyang yang merupakan budaya asli Indonesia berdampingan dengan pemujaan kepada Sang Hyang Widhi yang merupakan pengaruh kebudayaan Hindu.

Baca Artikel Lainnya : Kebudayaan Hindu Budha Di Indonesia Dan Pengaruhnya


Kesenian

Unsur kesenian adalah unsur yang paling menonjol dalam suatu kebudayaan jika dibandingkan dengan unsur-unsur lainnya. Mengenai unsur kesenian dari kebudayaan Hindu yang mempengaruhi kebudayaan Indonesia terlihat dalam wujud seni sastra, seni bangunan, seni patung dan seni hias (Koentjaraningrat,1980:84).


Pengaruh Hindu dan Budha pada Masa Kerajaan di Indonesia

Kerajaan Kutai

Kerajaan Kutai adalah kerajaan Hindu tertua di Indonesia abad ke 4 Masehi. Bukti sejarahnya dengan ditemukan 7 buah prasasti dalam bentuk yupa yang memakai huruf Pallawa berbahasa Sanskerta dalam bentuk syair.

Ditulisnya prasasti-prasati yang menggunakan bahasa Sansekerta dan huruf Pallawa menunjukkan bahwa kerajaan Kutai telah mendapat pengaruh agama Hindu dari India, di mana bahasa serta tulisan banyak dikuasai oleh kaum Brahmana yang menduduki status tertinggi dalam masyarakat. Golongan ini pula yang mungkin memimpin upacara vratyastoma untuk pengangkatan Aswawarman dan Mulawarman sebagai raja dan Pendeta Brahmana agama Hindu di Kerajaan Kutai.


Kerajaan Tarumanegara

Kerajaan Tarumanegara berdiri di Jawa Barat sekitar abad ke 4-5 Masehi. Raja yang berkuasa adalah Purnawarman. Bukti tentang keberadaan kerajaan ini terlihat dari ditemukan 7 buah prasasti antara lain: Ciaruteun, Kebon Kopi, Jambu, Pasir Awi, Muara Ciaten, Tugu, dan Lebak. Prasasti ini menggunakan Huruf Pallawa dengan Bahasa Sanskerta. Ketujuh prasasti tersebut memberi keterangan tentang keberadaan kerajaan Purnawarman di Jawa Barat.

Diantaranya yang terpenting adalah :

  • Prasasti Ciaruteun

Prasasti ini menyebutkan bahwa adanya bekas tapak kaki seperti kaki dewa Wisnu yaitu kaki yang mulia Purnawarman, raja di negeri Taruma yang gagah berani. Sedangkan di Kebon Kopi disebutkan adanya gambar tapak kaki gajah yang dikatakan sebagai tapak kaki gajah Dewa Indra (Airawata).

  • Prasasti Tugu

Prasasti ini merupakan prasasti terpanjang dan paling lengkap diantara prasasti Raja Purnawarman. Prasasati ini menyebutkan Raja Purnawarman yang berhasil menggali sebuah sungai bernama Gomati yang mengalir di tengah-tengah istana Raja Purnawarman. Penggalian dilakukan dalam waktu 21 hari dengan panjang 12 km. Pekerjaan ditutup dengan pemberian hadian 1000 ekor lembu kepada para brahmana.

Selain prasasti-prasasti tersebut, ada 3 buah artefak (arca) yang ditemukan :

  • Arca Rajarsi

Dalam prasasti Tugu juga disebutkan bahwa arca ini menggambarkan rajarsi yang memperlihatkan sifat-sifat Wisnu-Surya, dan Purnawarman dianggap penganut ajaran tersebut. W.F. Stutterheim berpendapat arca tersebut adalah arca Ciwa yang berasal dari abad ke-11 Masehi.

  • Arca Wisnu Cibuaya I

Diperkirakan berasal dari abad ke-7 Masehi, dianggap memiliki persamaan dengan langgam seni Pallawa di India Selatan dari abad ke-7 sampai ke-8 Masehi, atau dengan Calukya (Marwati Djoened Poesponegoro, dkk; 1984:43)

  • Arca Wisnu Cibuaya II

Ditemukan di daerah Cibuaya juga, diperkirakan sebagai arca yang agak tua dilihat dari segi jenis bahan batu yang digunakan, bentuk arca, bentuk badan dan mahkotanya.

Unsur-unsur budaya Hindu India yang mempengaruhi budaya Indonesia pada masa kerajaan Tarumanegara terutama pada masa pemerintahan raja Purnawarman dapat terlihat dari budaya tulisan yang telah mempergunakan tulisan dan bahasa Sanskerta di samping agama Hindu.

Namun pengaruh Hindu masih belum kuat pada golongan rakyat jelata, tetapi golongan bangsawan elit lingkungan keraton Raja Purnawarman sangat kuat memegang kebudayaan Hindu India. Mereka merupakan golongan terdidik yang menguasi bahasa Sanskerta dan huruf Pallawa. Raja Purnawarman sendiri adalah pemeluk Hindu yang taat dan sangat dekat hubungannya dengan golongan Brahmana.

Diberikannya 1000 ekor slembu kepada golongan ini yang tertulis dalam prasasti Tugu, menunjukkan bukti eratnya hubungan tersebut. Dari segi ekonomi diungkapkan dalam prasasti Tugu yakni penggalian sungai Gomati ini membuktikan bahwa raja Purnawarman menaruh perhatian besar terhadap kesejahteraan masyarakat terutama di bidang pertanian dan keamanan sebagai pengendali banjir.

Baca Aritkel Lainnya : Kerajaan Budha Di Indonesia – Sejarah, Peninggalan Dan Puncak Kejayaannya


Kerajaan Holing/Kaling

Keberadaan tentang adanya Kerajaan Holing/Kalingga yang berlokasi di Jawa Tengah ini terdapat dalam sumber luar negeri yaitu berita Cina dan Prasasti Mahakutta serta sumber dalam negeri yakni Prasasti Tuk Mas yang ditemukan di lereng Gunung Merbabu

Prasasti Mahakutta (601 Masehi) menyebutkan bahwa raja Kertiwarman I yaitu raja negeri Calukya barat yang mengalahkan beberapa musuh-musuhnya raja negeri Pandya, Dramila, Chola dan Kalingga. Pembesar Kalingga melarikan diri ke Indonesia beserta orang Hindu dan mendirikan kerajaan Kalingga. Sumber berita Tionghoa dari zaman pemerintahan raja T’ang (618-906) disebutkan nama kerajaan Kaling/Holing berlokasi di Jawa Tengah. Holing/Kalingga diperintah oleh seorang raja putri bernama Ratu Sima (674-675 M) dengan hukum kejujuran dan setiap peraturan mutlak dilaksanakan.

Di samping itu terdapat pula gambar alat-alat untuk upacara keagamaan Hindu seperti kendi, kapak, kalasangka dan sebagainya. Dari bukti-bukti yang didapat, terlihat bahwa kerajaan Holing/Kaling ini mendapat pengaruh selain agama Budha Hinayana yang berkembang pada pertengahan adab ke tujuh, juga hidup agama Hindu sesuai dengan keterangan yang didapat dari prasasti Tuk Mas berangka Tahun 650 Masehi.


Kerajaan Sriwijaya

Kata Sriwijaya dijumpai dalam prasasti Kota Kapur (pulau Bangka). Sriwijaya yang dimaksud di sini adalah nama sebuah kerajaan di Sumatera Selatan dengan pusat kerajaannya adalah Palembang. Bukti-bukti adanya kerajaan Sriwijaya terlihat dari ditemukannya 6 buah prasasti yang tersebar di Sumatera Selatan dan pulau Bangka.

Berdasarkan sumber-sumber berita Cina menyebutkan bahwa kerajaan Sriwijaya sebagai pusat kegiatan ilmiah agama Budha dan merupakan tempat persinggahan pendeta-pendeta Budha dari Cina yang akan menuju ke India dan juga yang akan pulang ke Cina dari India. Berita I-Tshing pada abad ke-8 menyebutkan terdapat 1000 orang pendeta yang belajar Agama Budha di bawah bimbingan pendeta Budha terkenal yaitu Sakyakirti. Salah seorang guru besar Budha yang berdarah asli Sriwijaya adalah Dharmakirti yang bukan hanya disegani di Sriwijaya, melainkan juga oleh para pendeta dari Cina. Seorang pendeta Cina bernama Atica sangat mengagumi Dharmakirti dan menjadikannya sebagai guru Budha.


Kerajaan Mataram

Sebelum kerajaan ini disebut kerajaan mataram, terdapat dua keluarga raja atau dinasti atau wangsa yang berkuasa di Jawa tengah sejak abad ke-8. Kedua wangsa tersebut memiliki corak kebudayaan yang berbeda. Mereka adalah Wangsa Sanjaya yang bercorak Hindu dan Wangsa Syailendra yang bercorak Budha. Penyatuan kedua wangsa ini terjadi pada abad ke-9 dengan adanya perkawinan antara Rakai Pikatan (Wangsa Sanjaya) dan raja seorang putri keluarga Syailendra bernama Pramodawardhani yang merupakan anak Samaratungga, raja Syailendra.

Bukti tentang keberadaan kerajaan ini terdapat dalam prasasti yang ditemukan di desa Canggal (sebelah barat daya Magelang), kemudian diberi nama Prasasti Canggal yang berangka Tahun 732 Masehi dan mempergunakan huruf Pallawa dan bahasa Sanskreta. Isinya menyebutkan tentang peringatan didirikannya sebuah lingga (lambang Siwa) di atas sebuah Bukit di daerah Kunjarakunja oleh raja Sanjaya.

Prasasti Canggal juga menyebutkan Raja Sanjaya yg memerintah kerajaan Mataram di Jawa Tengah pertengahan abad ke-8 M adalah memeluk agama Hindu yang berkonsepsikan Tri Murti. Candi Arjuna di dataran tinggi Dieng dekat Wonosobo Jawa Tengah yang dihiasi / dipahatkan dengan relief Tri Murti di ketiga dinding candi. Candi Prambanan dekat Klaten Jawa Tengah, arca Tri Murti masing-masing diletakkan dalam candi sendiri-sendiri. Diperkirakan didirikan tahun 856 M dan dihubungkan dengan raja Rakai Pikatan dari Dinasti Sanjaya.

Gunawarman, putra raja Kasmir membawa ajaran Agama Budha Hinayana ke Jawa. Kehidupan Budha di Jawa Tengah berlangsung hanya sampai munculnya Dinasti Sailendra yang menganut Budha Mahayana. Munculnya Budhisme Mahayana di Jawa Tengah berasal dari Sriwijaya di Sumatera yang telah memeluk Budha Mahayana tahun 683 M

Dalam kurun waktu 100 tahun pemerintahan Dinasti Sailendra didirikan beberapa bangunan suci Budha Mahayana seperti Candi Kalasan, Mendut, Borobudur, Tahun 856 M, Rakai Pikatan dari Dinasti Sanjaya dapat merebut kekuasaaan pemerintahan di Jawa Tengah, selanjutnya pemujaan Dewa Tri Murti mendapat tepat yang utama.

Baca Aritkel Lainnya : Faktor Penyebab Runtuhnya Kerajaan Bercorak Hindu Budha


Isana di Jawa Timur

Istilah wangsa Isana dijumpai dalam prasati Pucangan. Prasasti ini dikeluarkan oleh raja Airlangga pada tahun 963 Saka (1041) Masehi. Bagian prasasti yang berbahasa Sanskerta diawali dengan penghormatan terhadap raja Airlangga. Selanjutnya dimuat tentang silsilah raja Airlangga mulai dari raja Mpu Sindok mempunyai anak perempuan bernama Sri Isanatunggawijaya yang menikah dengan Sri Lokapala. Dari perkawinan ini lahir seorang putra yang yaitu Sri Makutawangsawardhana dan di dalam bait ke-9 dari prasasti Pucangan sengaja dibuat keturunan wangsa Isana.


Kerajaan Kediri

Dari dua kerajaan yaitu Kediri dan Singosari didapatkan keterangan bahwa hanya Kedirilah yang mengisi perjalanan sejarah selanjutnya setelah Airlangga meninggal. Raja pertama yang memerintah berdasarkan prasasti tahun 1104 adalah raja Sri Jayawarsa Digjaya Sastraprabhu yang juga menamakan dirinya titisan Wisnu seperti Airlangga.

Selanjutnya Kameswara (1115-1130) Masehi. Ada tampil kesusatraan yang digubah oleh Mpu Darmaja yaitu kitab Smaradhana yang memuji sang raja sebagai titisan dewa Kama. Pengganti Kameswara adalah Jayabaya (1130-1160) Masehi. Pengganti Jayabaya, Sarweswara (1160-170 M) dilanjutkan oleh raja Aryeswara (1170-1180 M), Gandra dari tahun 1190-1200 Masehi. Pemerintahan berada di tangan raja Srngga. Sebagai raja terakhir masa kekuasaan Kediri adalah raja Kertajaya (1200-1222 M) dan pada masa akhir pemerintahannya tahun 1222 M, menyerahkan mahkota kerajaan kepada Singasari.


Kerajaan Singasari

Tampuk pemerintahan pertama di kerajaan Singasari adalah di tangan Ken Arok (1222-1227 M). Ken Arok pada mulanya mengabdi kepada seorang Awuku (semacam bupati) di Tumapel yang bernama Tunggul Ametung, kemudian dibunuh oleh Ken Arok, lalu jandanya (Ken Dedes) dinikahinya. Tidak lama setelah Tunggul Ametung meninggal, Ken Dedes melahirkan anak yang diberi nama Anusapati. Dari perkawinannya dengan Ken Arok, Ken Dedes melahirkan putra yang bernama Mahisa Wonga Teleng. Sedangkan dari istrinya yang lain, Ken Umang, Ken Arok mendapat anak laki-laki yang bernama Tohjaya.

Secara berututan setelah Ken arok meninggal dibunuh oleh Anusapati, pemerintahan berada di tangan Anusapati (1227-1248 M). Anusapati digantikan oleh Tohjaya (1248)M dan selanjutnya digantikan oleh Rangga Wuni (1248-1268 M). Raja ini adalah raja pertama yang namanya dikekalkan dalam prasati khususnya dari raja-raja Singasari.

Pada masa pemerintahan Krtanegara paling banyak diketahui aktivitasnya. Dalam bidang pemerintahan, raja dibantu oleh tiga orang maha mantra, di bidang agama sang raja mengangkat seorang dharmadhyaksa rikasogatan (kepala agama Budha). Di samping itu juga ada seorang mahabrahmana mendampingi raja dengan pangkat sangkhadhara.


Kerajaan Majapahit

Raja-raja yang berkuasa di Majapahit masih keturunan dari raja-raja Singasari. Raden Wijaya sebagai raja pertama Majapahit adalah keturunan langsung Ken Arok dan Ken Dedes. Mungkin karena faktor genealogis maka cara-cara Raja Singasari memerintah diteruskan oleh raja-raja Majapahit. Pada pemerintahan Raden Wijaya (1293-1309) terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh teman-teman seperjuangan yang tidak puas atas kedudukan yang diberikan oleh Raden Wijaya kepada mereka. Raden Wijaya meninggal tahun 1309 dan dibuat patung dalam bentuk Dewa Wisnu dan Dewa Siwa.

Pemberontakan juga terjadi pada masa pemerintahan Jayanegara (1309-1328) M. Pemberontakan tersebut di lakukan oleh Juru Demung, Gajah Biru, Nambi, Semi, dan Kunti karena fitnah Mahapatih.

Tindakan pertama yang dilakukan untuk membuktikan sumpahnya adalah dengan menyatukan Bali (1343 M) disusul Melayu dan Pagarruyung (Minangkabau). Dalam melakukan sumpahnya berbagai taktik dilakukan termasuk tipu muslihat. Satu-persatu negara-negara kecil di Nusantara dapat ditundukkannya dengan mudah dan dipaksa untuk mengakui kedaulatan Majapahit. Namun, usaha menundukkan kerajaan Sunda Pajajaran yang dilakukan dua kali mengalami kegagalan. Akibat peristiwa tersebut, Gajah Mada mengundurkan diri dari jabatannya sebelum dia kembali ketangga pemerintahan. Penyebab pengunduran diri itu adalah dia merasa gagal dalam menuntut pengakuan Kerajaan Sunda atas kedaulatan Majapahit.

Kebesaran Majapahit lambat laun mengalami kesuraman pada masa akhir kekuasaan Hayam Wuruk. Kematian Gajah Mada pada 1369 dan ibu raja Hayam Wuruk pada 1379 menyebabkan Raja Hayam Wuruk kehilangan pegangan dalam menjalankan pemerintahannya.

Intrik politik di antara keluarga raja kembali terjadi setelah Hayam Wuruk meninggal pada 1389. Anaknya yang lahir dari seorang selir yang bernama Bhre Wirabhumi dan menantu  Hayam Wuruk, yaitu Wikramawardhana memperebutkan kekuasaan dan pada akhirnya yang mendapatkan kekuasan itu adalah Wikramawardhana.

Dan kemarahan Bhre Wirabhumi semakin memuncak ketika Wikramawardhana meyerahkan kekusaan kepada anaknya. Selama lima tahun (1401-1406 M) terjadi peperangan dari pihak Bhre Wirabhumi dengan Pihak Wikramawardha. Perang ini disebut perangParegreg yang berakhir dengan terbunuhnya Wirabhumi, menyebabkan semakin lemahnya kerajaan Majapahit.

Menurut beberapa teori, Majapahit hancur karena perselisihan di antara keluarga raja dan diakhiri dengan serangan pasukan kerajaan Islam Demak yang dipimpin oleh Raden Patah.

Struktur kerajaan Majapahit bersifat Teretorial dan desentralisasi dengan susunan anggota keluarga. Dalam struktur birokasi pemerintahannyaraja dibantu oleh tiga maha mentri yaitu I hono, I hulu, dan I sirikan. I hono paling tinggi kedudukannya. Dia paling dekat dengan raja dan berhak mengeluarkan piagam-piagam berupa prasasti.

Sebagai kerajaan besar yang penduduknya menganut agama berbeda yaitu Hindu-Budha dan Siwa-Budha aspek keagamaan merupakan hal penting yang harus diperhatikan. Banyaknya pejabat menunjukkan kompleksnya permasalahan agama yang harus diatur di Kerajaan Majapahit.

Dalam aspek kehidupan ekonomi kerajaan Majapahit masih mencerminkan sebagai negara agraris. Walaupun wilayahnya luas dan meliputi hampir seluruh kepulauan Nusantara, kerajaan ini tidak berkembang sebagai kerajaan maritim seperti kerajaan Sriwijaya. Hasil utama dari sektor agraria adalah beras, kelapa, lada, pala, dan cengkeh.

Zaman Kerajaan Majapahit ditandai dengan kemajuan dibidang sastra. Para sastrawan mampu mencatat peristiwa-peristiwa penting dalam kerajaan, kebesaran raja yang berkuasa, kisah kepahlawanan, dan kisah hidup menurut ajaran Agama Hindu atau Budha. Karya-karya sastra berupa prosa yang disebut kekawin, diantaranya Negarakertagama, karangan Empu Parthayajna yang tidak diketahui pengarangnya.

Baca Artikel Lainnya : Hancurnya Kerajaan Di Indonesia Serta Faktor Kelemahannya


Kerajaan Bedahulu (Wangsa Warmadewa)

Kira-kira pertengahan abad ke-9 di Bali memerintahlah seorang raja yang bernama Sri Mayadanawa yang bertahta di Bedahulu, putra raja di Balingkang. Beliau sangatlah sakti namun memiliki sifat yang sangat angkara murka. Ia menganggap dirinya yang paling sakti sehingga ia membenci orang yang melaksanakan tapa brata, melarang dan meniadakan upacara yadnya. Pulau Bali akhirnya dilanda kemarau panjang, panen rakyat gagal, wabah penyakit meraja lela. Singkatnya keadaan bali sangat memprihatinkan ketika berada di bawah pemerintahan raja Sri Mayadanawa.

Atas prakarasa Mangku Kulputih dari Besakih dan para pemangku di desa-desa diadakanlah upacara dewa yadnya di Pura Besakih untuk memohon keselamatan dan kesejahteraan  kembali kepada masyarakat Bali. Berita ihwal kesemena-menaan raja Sri Mayadanawa terdengar oleh para Arya Hindu keturunan Sri Kesari Warmadewa yang kemudian menyerang Bali dan membinasakan  raja Sri Mayadanawa di hulu Sungai Petanu. Kemenangan raja Sri Kesari Warmadewa terhadap raja Sri Mayadanawa yang tepat pada hari Budha Kliwon Dungulan selanjutnya diperingati sebagai hari raya Galungan.

Peristiwa yang bersejarah dalam perkembangan agama Hindu pada trah keturunan raja Warmadewa tercatat pada masa pemerintahan  raja Sri Dharma Udayana Warmadewa, ketika masa pemerintahan beliau datanglah seorang  Brahmana dari Jawa bernama Empu Kuturan. Beliau adalah penasehat dari raja Airlangga yang juga merupakan saudara dari Empu Bharadah.

Di Bali beliau menanamkan konsep Tri Murti, Kahyangan Tiga dan Kahyangan Jagat sebagai kristalisasi dari semua ajaran sekte-sekte yang berkembang pada masa itu. Sekte adalah aliran kepercayaan yang mengagungkan dan memuja salah satu dewa sebagai Ista Dewata tertinggi. Sekte-sekte yang ada di Bali pada masa itu meliputi sekte Siwa Sidhanta, sekte Bairawa, sekte Ganapati, sekte Waisnawa, sekte Boddha, sekte Brahmana dll.

Pertimbangan politis raja Sri Dharma Udayana Warmadewa dan ratu Mahendradatta Gunapriya Dharmapatni atas rekomendasi dari Empu Kuturan akan keresahan adanya sekte-sekte merupakan cikal dasar diadakannya pengkristalisasian semua ajaran sekte tersebut diatas, karena asumsinya dengan banyaknya sekte yang berkembang akan menimbulkan perpecahan dalam kehidupan masyarakat Hindu di Bali.

Akhirnya diadakanlah pesamuan (pertemuan) di Pura Samuan Tiga, Bedulu, Gianyar untuk menyatukan persepsi diantara sekte-sekte yang dihadiri pucuk pimpinan masing-masing sekte, menghasilkan sebuah konsensus Tri Murti, Kahyangan Tiga dan Kahyangan Jagat. Konsep Tri Murti, Kahyangan Tiga dan Kahyangan Jagat bagi masyarakat Hindu di Bali masih dipegang teguh hingga sekarang.


Kerajaan Gelgel (Wangsa Krsna Kapakisan)

Setelah kerajaan Bedahulu runtuh oleh pasukan Majapahit, pulau Bali menjadi sunyi sepi, kacau balau, masing-masing para petinggi pemerintahan mempertahankan pendapatnya sendiri-sendiri, tidak mau menuruti sesamanya. Di Bali terjadilah kekosongan kekuasaan (vacuum of power).

Mahapatih Gajah Mada menjadi gelisah melihat situasi Bali hancur tanpa adanya peraturan, karena tidak adanya raja yang memimpin. Karena itu Gajah Mada berunding dengan Mpu Sanakpitu. Untuk calon raja yang akan menduduki posisi sebagai raja di Bali, Gajah Mada memohon kepada guru penasehatnya yaitu Dang Hyang Kapakisan agar  mengangkat putranya sebagai raja di pulau Bali.

Permohonan itu akhirnya ditembuskan ke raja Hayam Wuruk dan dikabulkan. Mulai saat itu pulau Bali di pimpin oleh raja yang merupakan keturunan dari Dang Hyang Kapakisan. Raja yang diberikan mandat untuk memerintah Bali adalah Sri Aji Kudawandhira yang bergelar Dalem Ketut Krsna Kapakisan yang memerintah di daerah Samprangan, dekat Gianyar.

Perombakan tata pemerintahan juga dilakukan pada jabatan menteri-menteri, para menteri (Arya) semuanya berasal dari Majapahit dan diberikan tempat kedudukan masing-masing, yaitu Arya Kenceng di Tabanan, Arya Belog di Kaba-kaba, Arya Dalancang di Kapal, Arya Belentong di Pacung, Arya Kanuruhan di Tangkas dan para Arya lainnya yang diberi daerah teritorial lainnya.

Pada masa pemerintahan Dalem Ketut Smara Kapakisan (keturunan ke II wangsa Krsna Kapakisan) terjadi pemindahan ibu kota kerajaan yang dahulunya terletak di Samprangan (Gianyar) pindah ke Gelgel (Klungkung). Proses perpindahan ibu kota berjalan secara lancar.

Dasar logis perpindahan ibu kota ini adalah pertimbangan komunikasi dan transportasi. Raja-raja yang memerintah Bali dari wangsaKrsna Kapakisan adalah Dalem Ketut Krsna Kapakisan,  Dalem Ketut Smara Kapakisan, Dalem Watu Renggong, Dalem Bekung, Dalem Sagening, Dalem Anom Pemahyun dan Dalem Dimade.


Hasil-Hasil Kebudayaan Pada Masa Kerajaan Hindu dan Budha di Indonesia

Salah satu unsur-unsur kebudayaan yang mempengaruhi kebudayaan Indonesia pada masa kerajaan Hindu dan Budha di Indonesia yang menjadi pokok bahasan di sini adalah adalah unsur kesenian yang terutama berwujud seni sastra, seni bangunan, seni patung dan seni hias.

Beberapa hasil kebudayaan pada masa kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha di Indonesia adalah sebagai berikut:


Bangunan

Hasil kebudayaan berupa bangunan yang dimaksudkan adalah bangunan sebagai tempat suci yaitu candi. Candi sebagai salah satu hasil kebudayaan pengaruh Hindu dan Budha adalah berasal dari perkataan/nama untuk Durga sebagai Dewi Maut atau Candika. Jadi bangunan Candi erat hubungannya dengan Dewi Durga sebagai Dewi Maut.

Memang candi itu sebenarnya adalah bangunan untuk memuliakan orang yang sudah meninggal, khususnya untuk orang tertentu yaitu para Raja atau orang-orang terkemuka. Yang dikuburkan dalam candi bukanlah sang raja atau pun abu jenasah, melainkan bermacam-macam logam dan batu-batu akik yang disertai dengan saji-sajian. Benda-benda demikian dinamakan pripih.

Dilihat dari segi fungsinya, maka candi dapat dibedakan menjadi beberapa bagian, yaitu candi berfungsi sebagai pedharman, candi berfungsi sebagai petirtaan/permandian, candi berfungsi sebagai pintu gerbang/pintu masuk suatu areal bangunan tertentu.

Beberapa peninggalan/hasil kebudayaan dalam bentuk bangunan candi pada masa kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha yang terletak di Jawa Tengah adalah:

  1. Candi Kalasan
  2. Candi Sari
  3. Candi Borobudur
  4. Candi Mendut
  5. Candi Loro Jongrang/Prambanan

Beberapa candi sebagai peninggalan sejarah pada masa kerajaan Hindu dan Budha yang terdapat di Jawa Timur adalah:

  1. Candi Kidal
  2. Candi Jago
  3. Candi Singosari
  4. Candi Penataran

Patung Dewa

Seni patung/arca tersebut erat kaitannya dengan keagamaan. Patung-patung itu menggambarkan dewa/dewi. Raja yang telah wafat dan telah bersatu kembali dengan dewa penitisnya, maka dibuatkanlah sebuah patung sebagai perwujudannya dan patung atau arca menjadi arca induk dalam sebuah candi.

Untuk membedakan arca dewa yang satu dengan dewa yang lainnya, maka setiap arca mempunyai tanda-tanda tersendiri atau disebut dengan laksana, seperti:

  1. Arca Siwa sebagai Mahadewa laksananya: bulan sabit, tengkorak, mata ketiga di dahi, upawita ular naga, cawat kulit harimau, tangannya empat masing-masing memegang camara, aksamala, kamandalu dan trisula.
  2. Arca Siwa sebagai Mahaguru atau Mahayogi laksananya: kamandalu, trisula, perutnya gendut, kumis panjang, dan berjanggut runcing.
  3. Arca Siwa sebagai Mahakala laksananya: bersenjatakan gada dan wajahnya menakutkan seperti raksasa.
  4. Arca Durga biasanya dilukiskan sebagai Mahisasuramardhini. Berdiri di atas seekor lembu, bertangan 8,10,12, masing-masing tangannya memegang senjata.
  5. Ganesha yaitu arca dewa berkepala gajah berbadan manusia yang disembah sebagai dewa ilmu dan penyingkir rintangan-rintangan serta mempunyai kedudukan sebagai dewa perang.
  6. Arca Wisnu laksananya: bertangan empat masing-masing memegang gada, cakra, sangkha dan kuncup teratai, kendaraannya garuda dan saktinya adalah Laksmi.
  7. Arca Brahma laksananya: bermuka empat, tangan empat memegang aksamala dan camara. Kendaraannya angsa dan saktinya Saraswati.

Seni Ukir

Hasil-hasil seni ukir adalah berupa hiasan-hiasan pengisi pada bangunan candi utamanya pada bagian dinding. Pola hiasan yang dipergunakan adalah pola hiasan makhluk-makhluk ajaib dan tumbuh-tumbuhan sesuai degan suasana pegunungan dalam hal ini adalah gunung Mahameru.

Makhluk-makhluk ajaib itu biasanya dipancangkan di atas relung atau ambang pintu yang disebut dengan Kepala Kala atau Banaspati. Pada candi-candi Jawa Tengah banaspati ini dirangkai dengan makara atau semacam ikan yang mulutnya ternganga, sedangkan bibir atasnya melingkar ke atas seperti belalai gajah yang diangkat.


Kesusastraan

Beberapa hasil kebudayaan pada zaman Hindu dan Budha di Indonesia yang berasal dari kesusastraan terutama dari kerajaan Kediri adalah sebagai berikut:

  1. Arjunawiwaha
  2. Kresnayana
  3. Sumanasantaka
  4. Smaradhahana
  5. Bharatayudha
  6. Gatotkacasraya
  7. Wrttasancaya
  8. Lubdhaka

Beberapa hasil kesusastraan pada zaman kerajaan Majapahit, meliputi:

  1. Negarakertagama
  2. Sutasoma
  3. Kunjarakarna
  4. Perhyayajna
  5. Tantu panggelaran
  6. Calon Arang
  7. Korawasrama
  8. Bubhukshah
  9. Pararaton

Sekian penjelasan artikel diatas semoga bisa bermanfaat untuk semua pembaca PelajaranIps.Co.Id